Minggu, 19 September 2010

SEDETIK BERTANYA, SEMENIT MENJAWAB

MENGENAL INTI PENGEJARAN HIDUP

Suatu ketika, dalam kamarku yang mungil dengan ukuran 2x3 sempat melontarlkan sebuah pertanyaan singkat yang ditujukan untuk diriku sendiri. Semula pertanyaan itu hadir sebagai teman iseng-isengan di saat suasana santai sambil menikmati musik senja yang dialunkan dari sebuah stasiun radio swasta. Namun tak kusangka ternyata pertanyaan itu justru berujung pada refleksi yang mendalam tentang hidup. Dari pertanyaan itu aku sedikit tahu mengapa aku mau bertahan untuk hidup dan apa yang aku kejar selama aku berusaha untuk bertahan hidup. Saya bertanya sekitar persoalan mengapa saya hidup dan mengapa saya seolah sedang berada dalam pengejaran?

Pertanyaan mengapa saya hidup itu berurusan dengan perkara hidup dan matinya diri saya. Itu berarti menyentuh sisi terdalam diri saya yang sedang berada dalam perjalanan panjang untuk mempertahankan hidup. dari pertanyaan mengapa saya hidup beralih kepada pertanyaan, mengapa saya harus mempertahankan diri untuk hidup atau bertahan untuk hidup? Pertanyaan pertama belum sempat kujawab dan langsung disergap dengan pertanyaan kedua. Karena saya harus konsisten dan sebelum hadir penyakit pelupaan dan melupakan pertayaan penting itu begitu saja, maka saya sempat merumuskan sebuah jawaban demikian, “ mengapa saya hidup karena saya dipercaya untuk hidup. dipercaya untuk hidup berarti ada kuasa tunggal di mana dia bisa saja tidak memberikan saya kepercayaan (baca: kesempatan) untuk hidup. namun dia bukanlah kuasa tunggal ayng tidak pernah berhenti memberikan kepercayaan.

Dari pertanyaan mengapa, kemudian maju selangkah yaitu untuk apa? Saya hidup untuk sebuah pengejaran. Pengejaran apa? Pengejaran akan kebahagiaan. Mengapa harus dikejar? Sejatinya kebahagiaan itu harus dikejar karena dia bukan ada yang menetap tetapi ada yang hadir namun hilang dan kita perlu mencarinya. Mencarinya bukan dengan cara yang biasa tetapi dengan sebuah tindakan pengejaran. Tidakkan pengejaran sebenarnya mau mengatakan bahwa kita perlu gesit dan cekat dalam mencarinya. Gesit dan cekat berlawanan dengan situasi yang ngantuk-ngantukan dan malas-malasan. Kebahagiaan dengan demikian adalah itu ayng kita kejar, kita dapat, kita raih tetapi tidak pernah kita pegang dan genggam untuk selamanya. Tetapi ada sebuah realitas kebahagiaan yang kita kejar, bisa didapat dan bisa digenggam untuk selamanya. Kapan itu terjadi, kita pun tidak tahu. Mungkin sesudah kematian? Namun di mana?

Pertanyaan kedua yang masih tertunda untuk dijwab adalah mengapa saya harus berusaha untuk mempertahankan diri untuk hidup. Apakah hidup itu layak dipertahankan? Bukankah hidup dan mati itu ada dalam tangan Tuhan dan tanpa dipertahankan kita bisa hidup dan mati pada waktunya. Namun bukanlah demikian yang terjadi pada diri manusia sebagai ciptaan. Sebagai ciptaan dia harus menghargai penciptanya. Mempertahankan hidup berarti menghormati karya agung pencipta yang nampak dalam diri manusia sebagai ciptaannya. Jangan sampai terjadi kesia-siaan dalam hal kita diciptakan. Kita sebagai manusia berjuang keras untuk mempertahankan hidup itu. Namun kita tidak menghalalkan segala cara agar kita tetap bertahan. Tidak mungkin kita menggunakan cara yang salah untuk mencapai nilai yang baik untuk hidup. hanya di bawah bimbingan kuasa kegelapan dan yang akan hidup dalam dunia kegelapanlah yang memungkinkan hal seperti ini terjadi. Dan bisa saja cara yang “ baik” jatuh dalam kesalahan. Dan inilah yang dinamakan kekeliruan. Kalau manusia tidak keliru, maka dia perlu bertanya apakah saya benar-benar manusia. Atau mungkin hanya berpura-pura tidak pernah keliru bahkan lupa bahwa dia sering atau pernah keliru. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup pun kita sering terperangkap dalam hal ini. Kita keliru membangun strategi yang baik untuk menggapai nilai yang baik.

Aku adalah amnusia biasa, demikian sepucuk syair lagu kesayangan teman saya. Sebagai amnusia biasa, dia sering jatuh dalam pertanyaan-pertanyan besar seputar dirinya. Dan ini normal. Kalau tidak pernah bertanya tentang dirinya, maka dia tidak normal. Ehm…koq bisa???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please..comment