Minggu, 19 September 2010

SEDETIK BERTANYA, SEMENIT MENJAWAB

MENGENAL INTI PENGEJARAN HIDUP

Suatu ketika, dalam kamarku yang mungil dengan ukuran 2x3 sempat melontarlkan sebuah pertanyaan singkat yang ditujukan untuk diriku sendiri. Semula pertanyaan itu hadir sebagai teman iseng-isengan di saat suasana santai sambil menikmati musik senja yang dialunkan dari sebuah stasiun radio swasta. Namun tak kusangka ternyata pertanyaan itu justru berujung pada refleksi yang mendalam tentang hidup. Dari pertanyaan itu aku sedikit tahu mengapa aku mau bertahan untuk hidup dan apa yang aku kejar selama aku berusaha untuk bertahan hidup. Saya bertanya sekitar persoalan mengapa saya hidup dan mengapa saya seolah sedang berada dalam pengejaran?

Pertanyaan mengapa saya hidup itu berurusan dengan perkara hidup dan matinya diri saya. Itu berarti menyentuh sisi terdalam diri saya yang sedang berada dalam perjalanan panjang untuk mempertahankan hidup. dari pertanyaan mengapa saya hidup beralih kepada pertanyaan, mengapa saya harus mempertahankan diri untuk hidup atau bertahan untuk hidup? Pertanyaan pertama belum sempat kujawab dan langsung disergap dengan pertanyaan kedua. Karena saya harus konsisten dan sebelum hadir penyakit pelupaan dan melupakan pertayaan penting itu begitu saja, maka saya sempat merumuskan sebuah jawaban demikian, “ mengapa saya hidup karena saya dipercaya untuk hidup. dipercaya untuk hidup berarti ada kuasa tunggal di mana dia bisa saja tidak memberikan saya kepercayaan (baca: kesempatan) untuk hidup. namun dia bukanlah kuasa tunggal ayng tidak pernah berhenti memberikan kepercayaan.

Dari pertanyaan mengapa, kemudian maju selangkah yaitu untuk apa? Saya hidup untuk sebuah pengejaran. Pengejaran apa? Pengejaran akan kebahagiaan. Mengapa harus dikejar? Sejatinya kebahagiaan itu harus dikejar karena dia bukan ada yang menetap tetapi ada yang hadir namun hilang dan kita perlu mencarinya. Mencarinya bukan dengan cara yang biasa tetapi dengan sebuah tindakan pengejaran. Tidakkan pengejaran sebenarnya mau mengatakan bahwa kita perlu gesit dan cekat dalam mencarinya. Gesit dan cekat berlawanan dengan situasi yang ngantuk-ngantukan dan malas-malasan. Kebahagiaan dengan demikian adalah itu ayng kita kejar, kita dapat, kita raih tetapi tidak pernah kita pegang dan genggam untuk selamanya. Tetapi ada sebuah realitas kebahagiaan yang kita kejar, bisa didapat dan bisa digenggam untuk selamanya. Kapan itu terjadi, kita pun tidak tahu. Mungkin sesudah kematian? Namun di mana?

Pertanyaan kedua yang masih tertunda untuk dijwab adalah mengapa saya harus berusaha untuk mempertahankan diri untuk hidup. Apakah hidup itu layak dipertahankan? Bukankah hidup dan mati itu ada dalam tangan Tuhan dan tanpa dipertahankan kita bisa hidup dan mati pada waktunya. Namun bukanlah demikian yang terjadi pada diri manusia sebagai ciptaan. Sebagai ciptaan dia harus menghargai penciptanya. Mempertahankan hidup berarti menghormati karya agung pencipta yang nampak dalam diri manusia sebagai ciptaannya. Jangan sampai terjadi kesia-siaan dalam hal kita diciptakan. Kita sebagai manusia berjuang keras untuk mempertahankan hidup itu. Namun kita tidak menghalalkan segala cara agar kita tetap bertahan. Tidak mungkin kita menggunakan cara yang salah untuk mencapai nilai yang baik untuk hidup. hanya di bawah bimbingan kuasa kegelapan dan yang akan hidup dalam dunia kegelapanlah yang memungkinkan hal seperti ini terjadi. Dan bisa saja cara yang “ baik” jatuh dalam kesalahan. Dan inilah yang dinamakan kekeliruan. Kalau manusia tidak keliru, maka dia perlu bertanya apakah saya benar-benar manusia. Atau mungkin hanya berpura-pura tidak pernah keliru bahkan lupa bahwa dia sering atau pernah keliru. Dalam usaha untuk mempertahankan hidup pun kita sering terperangkap dalam hal ini. Kita keliru membangun strategi yang baik untuk menggapai nilai yang baik.

Aku adalah amnusia biasa, demikian sepucuk syair lagu kesayangan teman saya. Sebagai amnusia biasa, dia sering jatuh dalam pertanyaan-pertanyan besar seputar dirinya. Dan ini normal. Kalau tidak pernah bertanya tentang dirinya, maka dia tidak normal. Ehm…koq bisa???

Jumat, 17 September 2010


filsafat itu indah

Rabu, 01 September 2010

Gank 2007



filsafat itu indah

Sabtu, 28 Agustus 2010

Sabtu, 24 Januari 2009

LITURGI EKARISTI DAN PERAYAAN IMLEK

filsafat itu indah
Imlek dan Liturgi Gereja Katolik

Liturgi adalah kegiatan publik dalam gereja katolik yang bersifat kudus. Pada dasarnya hakekat liturgi adalah untuk mengenangkan kembali peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Liturgi ada karena yesus yang menghendaki agar umat dirinya senantiasa bersatu dengan Bapa dan para muridnya. Atau dengan kata lain liturgi membuat kedekatan antara Allah dan murid atau Gereja semakin terjaga. Liturgi juga mempersatukan gereja.
Salah satu pusat dan puncak seluruh liturgi, devosi dan doa Gereja adalah liturgi ekaristi. Semuanya berpuncak apada hal itu. Karena liturgi ekaristi adalah puncak, maka dia dilihat sebagai yang agung. Liturgi ekaristi mengingatkan kita akan kenangan sengsara, mafat dan kebangkitan Kristus. Yang kita kenangkan dalam liturgi adalah sengsara, wafat, dan kebangkitan kristus. Dengan demikian, konsekuensinya adalah seluruh kegiatan yang akan amsuk dalam liturgi ekaristi perlu dicermati. Segaal kegiatan ayng katanya bersifat inkulturatif itu jangan sampai menyingkirkan misteri agung dari luturgi ekaristi itu sendriri. Kalau seandainya ada misa yang dilakuakn hanyalah misa. Tidak ada misa imlek, misa ruwatan, atau misa2 yang lainnya. Yang ada hanyalah misa yang dipersembahkan untuk mengenangkan misteri hidup Yesus.
Pada masa sekarang banyak kebingungan mengnai apakah bisa ada misa imlek. Yang jelas tidak ada. Apalagi disertai budaya barongsae nya. Barongsae bukan tradisi gereja. Itu tradisi lokal cina.

Rabu, 21 Januari 2009

REALITA PINDAH AGAMA KAUM MUDA KATOLIK

filsafat itu indahRANCANGAN PENELITIAN
TENTANG
REALITA PINDAH AGAMA DARI KAUM MUDA KATOLIK

I. PENGANTAR

Kaum muda adalah orang yang berada pada batas usia tertentu. Dan di manapun, sosok pemuda selalu menarik perhatian banyak orang. Orang tidak hanya menyebut adanya kaum muda, tetapi selalu disertai dengan segala masalah dan persoalan yang menghinggapi kehidupan mereka. Ada anggapan bahwa kaum muda adalah sosok yang sangat menentukan adanya masa depan yang meyakinkan serta penuh harapan. Kaum muda tidak hanya ada dan hadir , tetapi banyak pihak yang menaruh harapan kepada mereka.
Masa muda adalah masa transisi dan pada saat ini mereka mencari identitas diri mereka yang sesungguhnya. Karena mereka sedang mencari identitas, maka tak jarang mereka selalu memberdayakan segala sesuatu untuk menemukan siapa diri mereka sesungguhnya berhadapan dengan sesama, dunia dan alam semesta. Mereka berusaha agar meraka ada dan bukan sekedar ada tetapi keberadaan mereka diperhitungkan serta diterima oleh orang lain. Mereka berusaha merasa diterima dalam arti bahwa keberadaan mereka diperhitungkan oleh orang lain. Ketika mereka diperhitungkan, maka muncul rasa betah yang membuat mereka tidak mau lari menjauh dan merasa bahwa inilah tempat tingal mereka untuk meletakan hidup dan mengekspresikan segala daya yang mereka miliki.
Dalam kehidupan menggereja , yang dimaksud dengan gereja adalah semua umat beriman dan kaum muda juga termasuk di dalamnya. Kaum muda adalah kumpulan pribadi dari keluarga-keluarga yang sering disebut sebagai gereja kecil sebagai tempat bertumbuh dan berkembangnya gereja dalam arti yang lebih luas yaitu suatu lembaga yang mewadahi kebutuhan kaum beriman untuk mengaktualisasikan imanya dalam bentuk ibadat dan liturgi serta kegiatan-kegiatan lainnya.
Aguste comte yang digelar sebagai Bapa sosiologi mengungkapkan inti dari masyarakat. Bagi Comte, inti dari masyarakat itu adalah keluarga, gereja dan komunitas. Dalam ketiga pilar ini, egoisme individu dapat dikontrol oleh rasa cinta, kewajiban, tanggung jawab, saling menghargai dan saling percaya. Pendapat aguste comte ini meneguhkan peneliti untuk meneliti keberadaan gereja dan situasi yang dialami oleh umat dalam kehidupan menggereja. Dalam hal ini adalah kaum muda. Oleh karena kaum muda bukan umat yang berada di luar gereja, tetapi mereka adalah bagian dari gereja atau dalam arti yang lebih dalam bahwa mereka adalah gereja itu sendiri.

II. POKOK PERMASALAHAN
Kaum muda adalah penerus atau pawaris masa depan gereja. Gereja masa depan ada di pundak kaum muda sekarang. Gereja dalam hal ini harus membuat mereka merasa betah dan merasa sebagai warga gereja . keaktifan mereka dalam kehidupan menggereja tergantung pada cara gereja ( pemimpin gereja) mengakomodasi mereka untuk memasukan mereka ke dalam sisi terdalam dari gereja. Di sini kaum muda harus merasa disapa yang membuat mereka sadar bahwa mereka bukan sebagai pribadi pasif dalam menggereja, tetapi pribadi yang aktif . Keaktifan mereka tampak dalam cara mereka menghayati hidup sebagai anggota gereja yang penuh. Namun persoalan yang muncul adalah bahwa mereka merasa kurang di sapa dan tidak mendapat pelayanan yang bersifat pengayoman serta tidak membuat mereka merasa betah. Liturgi sangat menjenuhkan, membosankan dan kurang gaul, katanya.
Pada masa-masa di mana mereka berusaha untuk menemukan jati diri dan karakter pribadi yang sesungguhnya, mereka bergabung dalam suatu organisasi yang mefasilitasi mereka untuk mencapai tujuan yang mereka cita-citakan. Ketika mereka berusaha mencari jati diri, mereka tidak takut mengekspresikan diri sedemikian rupa. Dan pada taraf ini mereka tidak hanya berusaha sendiri, tetapi harus ada pihak ketiga yang menghantar mereka untuk mencapai tujuan itu. Dan karena mereka adalah anggota gereja, maka gereja harus memberi tempat bagi mereka agar mereka dengan leluasa mengekspresikan diri termasuk iman mereka. Namun kenyataannya, gereja belum memberikan tempat yang cukup bagi mereka agar mereka mengekspresikan diri dan iman sesuai konteks dan jaman yang sedang berjalan bersama mereka. Tampaknya gereja belum peka akan jeritan kaum muda untuk menemukan siapa diri mereka ketika menceburkan diri dalam gereja katolik untuk bergulat bersama umat yang lain dari berbagai usia dan golongan. Gereja masih memegang prinsip lama serta tidak membaharui diri agar wajahnya berubah menjadi baru serta menarik untuk diikuti. Dalam konteks gereja yang demikianlah kaum muda merasa tidak diberi tempat untuk mengeluarkan semua daya dan kemampuan mereka dengan harapan bahwa mereka bisa berseru “ kami bisa”.

III. HIPOTESA PERMASALAHAN

1. Pemimpin gereja kurang memahami psikologi kaum muda dalam hidup menggereja
Paradigma yang muncul dalam hipotesa ini adalah paradigma konflik. Konflik yang muncul adalah perbedaan latar belakang psikis antara kaum muda yang sedang berada dalam masa transisi dan para pemimpin gereja yang sudah berada dalam “kemapanan” psikologis. Pemimpin gereja harus mengetahui maunya kaum muda dalam kehidupan menggereja bukan maunya pemimpin gereja bagi kaum muda dalam menggereja. Para pemimpin gereja harus mulai dari kaum muda untuk berpastoral sehingga mereka mengenal secara lebih dalam apa dan siapa itu kaum muda sesungguhnya.
2. Ritus-ritus yang kurang kreatif dan menarik hati serta terkesan monoton sehingga tidak memikat hati serta terasa membosankan.
Dalam sacrosantum concilium ( SC), ditekankan tentang perubahan dalam berliturgi. Namun perubahan itu tetap memerhatikan unsur terpenting dari setiap perayaan itu yaitu membawa semua orang kepada keselamatan. Hal ini berkaitan dengan tuntutan gereja lokal untuk berinkulturasi. Gereja harus kreatif membuat perubahan agar tidak terkesan monoton dan membosankan. Pentingnya inkulturatif agar menarik konteks kaum muda ke dalam liturgi sehingga kaum muda merasa terpikat. Pada dasarnya kaum muda menginginkan perayaan yang bernada pesta ( tidak bersifat formal) atau tidak terlalu kaku.
3. Katekese umat yang kategorial dan tidak perlu terlalu universal
katekese atau sering disebut pembinaan iman umat sangat penting untuk menumbuh kembangkan iman umat. Kaum mudapun perlu diberi pendalaman iman agar mereka bukan hanya sekedar suka dan tidak suka atau senang dan tidak senang dalam kehidupan menggereja, tetapi berdasarkan iman yang bersumber dari dalam diri yang dirahmati oleh Allah. Dalam berkatekese perlu membuat kategori-kategori khusus terhadap kaum muda bukan berupa pendalaman iman yang bersifat masal. Harus dibentuk kelompok pembinaan iman umat khusus kaum muda. Melalui cara ini kaum muda merasa disapa serta mendapat tempat sehingga kaum muda merasa kerasan dan menaruh minat yang penuh terhadap kegiatan menggereja. Lebih daripada itu iman kaum mudapun semakin bertumbuh menuju kedewasaan.
4. Kaum muda belum dipercaya penuh untuk memegang peranan penting dalam berliturgi ataupun kegiatan gerejawi lainnya. Banyak kegiatan menggereja didominasi oleh orang tua dan kaum muda belum dipercaya secara penuh dengan alasan bahwa kaum muda belum memiliki pengalaman yang memadai dalam berliturgi atau mananggung tugas gereja lainnya. Misalnya menjadi lektor, misdinar, pemazmur atau tugas-tugas lainnya. Kalau kaum muda tidak diberi ruang untuk bergerak maka mereka menjadi enggan untuk aktif. Mereka pergi ke gereja hanya untuk mengisi waktu atau gampangnya mereka lebih mudah untuk pindah ke aliran lain yang memberi mereka ruang untuk bergerak. “Kapan lagi kalau bukan sekarang, siapa lagi kalau bukan kami”. Inilah slogan kaum muda sekarang. Mereka juga menuntut hak untuk berpartisipasi.
5. Gereja belum memiliki sarana yang memadai untuk menyikapi kebutuhan kaum muda zaman sekarang yang dipenuhi dengan berbagai persoalan hidup. Kalau mau jujur, kaum muda sekarang dihinggapi oleh berbagai problem baik yang terungkap atau yang masih disembunyikan karena perasaan malu. Ketika kaum muda berusaha untuk meminta bantuan pihak gereja untuk meringankan beban hidup mereka, terkadang pihak gereja bersikap pasif dan diam saja. Hal ini bukan karena gereja tidak bisa, tetapi kurang adanya sarana. Pemimpin gereja (pastor paroki ) tidak mungkin berjalan sendirian . Dia harus bekerjasama dengan umat untuk membentuk komisi yang berkecimpung dalam kegiatan kepemudaan dan menjawab persoalan mereka. Kalaupun komisi itu sudah terbentuk, yang ada hanyalah nama atau sebuah lembaga tanpa makna. Ketika komisi itu tidak berfungsi, maka maknanyapun juga tidak ada. Oleh karena gereja harus sungguh mencari cara yang jitu agar persoalan kaum muda dalam berhadapan dengan jaman yang katanya edan ini terjawab
6. Peranan orang tua dalam membentuk dan membimbing anak mereka secara katolik masih setengah-setengah dan belum adanya ketegasan dari para orang tua dalam bersikap. Orang tua sebenarnya harus mengambil sikap yang tegas untuk menggiring anak mereka menuju kedewasaan kristiani. Oleh karena keluarga sering disebut gereja kecil. Sebagai gereja kecil, iman anak atau kaum muda hendaknya dimulai dari keluarga sebelum berkembang ke gereja yang dalam arti yang lebih luas. Namun keluarga-keluarga katolik yang ada di kota malang ini, khususnya di gereja paroki katedral Ijen lebih mengejar harta duniawi daripada memperhatikan anak-anak mereka.


VII. PENUTUP
Kami mengambil obyek penelitian ini karena peneliti merasa penting untuk mengetahui apa sebenarnya penyebab utama kaum muda merasa tidak betah di gereja katolik dan dengan mudah untuk berpindah ke aliran yang lain ( gereja protestan). Dalam gereja protestan mereka merasa disapa dan mendapat tempat untuk mengekspresiakn iman secara utuh dan total. Gereja protestan mampu menanggapi kegelisahan kaum muda yang nampaknya sedang berada dipersimpang jalan. Di mana mereka tidak tahu entah ke mana dan bagaimana mereka membawa hidup ini. Gereja yang lain mampu memberikan jawabannya.
Bersyukur bahwa tahun 2008 sekarang masih berkelanjutan sebagai tahun ke-23 bagi pimpinan gereja dalam menyapa kaum muda. Dalam pesannya menjelang hari orang muda sedunia di Sidney, Paus Benediktus XVI menegaskan kembali “gereja mesti percaya kepada kaum muda, sebab mereka inilah pelaku utama penginjilan ( bdk.Evanglii Nuntiandi 75) dan pelaku utama perutusan ( bdk. Redemtoris Missio 21). Sekarang ini sudah jaman globalisasi. Dan dampak buruk dari jaman globalisasi tidak bisa kita hindari.
Penelitian ini mau mengungkapkan apakah gereja lokal menyediakan tempat bagi kaum muda dan menyapa mereka atau sebaliknya kaum muda merasa tidak disapa serta tidak diberi ruang untuk bergerak yang membuat mereka memutuskan untuk pindah ke agama lain yang lebih memperhatikan mereka. Semoga hari kaum muda sedunia bisa menggema sampai ke seluruh gereja lokal sehingga gereja-gereja lokal bisa mengubah wajah dan rupanya serta kinerjanya dalam mewartakan dan menghadirkan kerajaan Allah ke dunia.

CINTA ITU BERBUAT

filsafat itu indahJADIKAN CINTA SEBAGAI TOPI BAJAMU


Gejala demoralisasi atau kemerosotan nilai moral melanda sebagian masyarakat atau umat manusia dewasa ini. Pemahaman sekaligus penghayatan nilai moral diterpa krisis yang cukup berkepanjangan. Ini bisa kita saksikan dari kenyataan sosial yang kian kejam, kasar, dan tak berperikemanusiaan. Ditambah lagi dengan intensitas tindakkan asusila yang sangat memprihatinkan. Perampokan, kekerasan seksual, perampasan harta benda orang lain dan sebagainya juga menjadi tanda dari zaman yang sedang berada dalam suasana demikian itu. Keadaan sosial yang memprihatinkan ini membuat begitu banyak orang bertanya, bagimanakah seharusnya hidup dan langkah taktis apakah yang harus dibuat agar dunia yang diciptakan ini dikembalikan kepada keadaanya yang baik adanya.
umat manusia yang sedang hidup dalam keadaan sosial yang memprihatinkan ini sedang menantikan pribadi-pribadi yang berkeutamaan. Pribadi-pribadi yang berkeutamaan dalam tradisi iman kristiani adalah mereka yang memiliki iman, harapan dan kasih yang murni dan utuh untuk memberikan dirinya bagi orang lain agar mengubah dunia yang sedang kaos kepada ciri dirinya yang sebenarnya yaitu aman, damai dan tentram. Tentu saja sebelum mengubah dunia kita harus terlebih dahulu mengubah diri kita sendiri.
Terhadap ketiga keutamaan yang ada dalam tradisi iman kristiani, paulus dalam suratnya kepada jemaat di korintus menasihati bahwa yang paling besar di antaranya ialah kasih.
Dan kita semua yang sedang berada di komunitas pondok kebijaksanaan ini sedang diformat untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkeutamaan itu dan akan diutus ke dunia untuk menjadi pembaharu. Oleh karena hakekat hidup membiara adalah man for God and man for the others ( menjadi manusia bagi Allah dan menjadi manusia bagi sesama) . Peziarahan kita untuk bersatu dengan Allah bukan mengantar kita untuk menjauhkan diri dari urusan-urusan duniawi yang bersifat karitatis. Tetapi kita dipanggil laksana nabi ke tengah dunia dan menyerukan suara kebijaksanaan di sana serta menghayatinya dengan sepenuh hati. Oleh karena begitu banyak orang yang tersentuh karena pewartaan yang keluar dari penghayatan pribadi daripada sekedar berkata-kata yang kadang sifatnya membual.
Suatu ketika, di kamarku yang berukuran mungil itu mendengarkan ceramah rohanidari seorang Ustad di sebuah FM Radio. Dia menggambarkan kasih Allah kepada umatNya. Dalam ceramahnya ia mengatakan bahwa kasih Allah itu prosentasenya penuh yaitu 100% tetapi yang dialirkan ke dunia hanya 1% dari ke100% itu. Sedangkan ke-99% yang lain tetap di surga dan umat manusia akan merasakan yang ke 99% itu di sana.
Konfrater ytk, bagi kita orang kristen Allah itu hadir sepenuh-penuhnya di dunia dan kepenuhan kehadirannya itu dilengkapi dengan kemauan-Nya untuk menghampakan diri dan mengambil rupa sebagai manusia secara utuh. Allah kita adalah akbar sekaligus akrab.

Sangat menarik karena dalam iman Kristiani, kasih terhadap sesama memiliki warna yang khas. Kekhasan itu terdapat dalam dialog yang terjadi antara seorang ahli taurat dan sang guru yaitu Yesus. Ketika ditanyai oleh seorang ahli taurat, manakah hukum yang utama, yesus menjawab dengan penuh keyakinan bahwa hukum utama itu adalah “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan utama” yesus langsung menyambung, ‘ dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah: “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Konfrater yang terkasih
Mengasihi Allah dengan sepenuh-penuhnya, itu memang menjadi hukum yang pertama. Tetapi kasih terhadap sesama oleh Yesus disederajatkan dengan itu. St. Yohanes malah berkata, barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tak kelihatan. Jika seorang berkata aku mengasihi Allah tetapi membenci sesamanya ia xeorang pendusta. Perkara penting di sini adalah soal relasi. Dalam kasih terhadap sesama, kasih terhadap Allah menjadi nyata. Pun sebaliknya, kasih terhadap Allah membuat kita semakin dekat daengan yang lain
Ada tiga keutamaan hidup yang harus dikenakan dalam diri tiap orang kristen bahkan menjadi identitas umat kristen yaitu iman, harap dan kasih dan yang lebih tinggi dari semuanya itu adalah kasih. Iman dan harap tak bisa disempurnkan tanpa cinta kasih. Iman menarik Tuhan kepada manusia, namun pada saat yang sama cinta menarik manusia kepada Tuhan. Cinta kasih membuat manusia bersatu dengan Tuhan dan agar segala kenyataan hidup yang kita alami, bisa dilihat sebagai representasi kehadiran Tuhan sendiri.
Menjadi saluran kasih. Tema sentralnya adalah kasih. Kasih kepada siapa? Tentu saja kasih terhadap Allah dan sesama. Kita dipanggil untuk mengasihi Allah dan mengalami kebesaran Kasih Allah agar dengan kasih yang sama itu kita digerakkan untuk keluar dari diri dan menemui sesama yang pantas dan layak kita kasihi. Siapkah mereka yang layak dan pantas di kasihi itu? Mereka adalah siapa saja. Siapa saja mereka itu adalah mereka yang menjadi sasaran misi yesus yang ada dalam injil lukas 4:18 "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."

Mother teresa dari Calcuta dalam refleksinya mengatakan bahwa aku hanyalah alat di tangan Tuhan. Tuhanlah yang menggerakkan diriku sehingga aku mampu mempedulikan diriku terhadap sesama yang menderita miskin dan lapar. Dan dalam refleksi pribadiku ketika menerima tema ini, aku merumuskan diriku atau diri kita laksana kabel yang dipakai Alah untuk meneruskan rahmatnya kepada sesama kita. Kita adalah kabel. Dan ketika aku mengatakan bahwa kita adalah kabel tentu saja konsekuensinya harus diterima adanya kenyataan pemilahan atas kabel yang kualitasnya baik dan yang kurang baik, yang kuat dan kurang kuat, namun kita semua dipanggil untuk menjadi kabel. Kita menjadi kabel yang dipakai Allah sambil menerima keunikkan pribadi kita. Yang mana melalui kita, Allah mengalirkan arus kasihnya yang besar kepada sesama kita.
Dalam surat kabar harian kompas tanggal 10 september 2008, tepatnya di kolom nama dan peristiwa dilukiskan profil dari seorang artis terkenal asal Amerika yang bernama Eva Mendes. Yang menarik bagi saya adalah keputusannya untuk memberikan sebagian dari hasil usahanya kepada mereka yang berkekurangan. Keputusannya ini sungguh luar biasa karena lahir dari pengalaman religiusnya yang sangat mendalam yang mana hal itu lahir berkat relasinya yang begitu mesrah dengan Allah. Dia melakukan ini bukan demi popularitas atau ketenaran. Akan tetapi sungguh merupakan tindakan yang karitatif. Hal ini aku ketahuai oleh karena dalam sebuah sumber dikatakan bahwa dia adalah penganut katolik yang tulen. Pernyataannnya yang menyertai keputusannyapun sangat menarik sekali yaitu “ aku merasa bahwa ketidakadilan berpihak kepadaku, aku memperoleh banyak hal dari usahaku tetapi ada begitu banyak orang yang nyaris bahkan tidak memperoleh apa-apa”.
Pernyataan seorang artis ini sungguh menyentuh saya ketika saya masuk ke wilayah kemapanan saya sebagai seorang calon imam montfortan. Ketersentuhan ini bukan tanpa alasan. Saya atau kita kerap kali lupa daratan ketika kita sudah berada pada posisi yang aman. Kita tidak lagi menghiraukan orang lain yang nasibnya tunggang langgang ke sana kemari bahkan nyaris kehilangan tujuan. Dan Kalau kita menyaksikan kebersamaan kita di sini, juga ada konfrater kita yang harus ditopang atau dibantu. Akantetapi kita itu selalu merasa bahwa keadilan masih tercipta. Akantetapi melihat kenyataan hidup kita, maka kita mestinya harus dari hari ke hari merasa bahwa ketidakadilan justru ada dalam diri kita.
Hal ini tentu saja akan disadari kalau kita sungguh menghayati kehidupan kita sebagai seorang terpanggil. Kita sering kali merasa aman, damai dan tentram, kata Romo Arnold. Akan tetapi ketika kita merasa aman, damai dan tentram, kita lupa akan mereka yang mengalami hal yang sebaliknya yaitu berdukacita, makan dan minum tak tercukupi, para gelandangan di jalan atau bagi angkatan saya yaitu teman-teman kita di Bhakti luhur. Kiranya kita mulai sadar bahwa di tengah dunia yang berada dalam kegelapan ini ketidakadilan berada pada kita. Dan kita mulai memformat diri sedemikian rupa untuk menjadi pelita di tengah kegelapan itu.
Sebelum kita keluar dari diri kita dan menemui begitu banyak orang yang harus kita kasihi, bertanyalah dan ujilah lebih dahulu diri kita. Bahwasannya ketika kita hendak keluar dari diri kita dan mempunyai motivasi sebagai pembaharu, maka baharuilah dulu diri kita sebelum membaharui orang lain. Kita tidak akan menjadi pribadi-pribadi yang menjawabi persoalan yang terjadi pada zaman ini apabila kita sendiri bermasalah. Yesus sendiri bersabda bahwa kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Seperti engkau mengasihi dirimu sendiri merupakan ajakkan bagi kita untuk menerima diri sendiri sebelum kita memberikan diri kita kepada orang lain. Kita harus menerima kelemahan kita. Kalau kita dari kampung, sadarilah bahwa kita orang kampung. Tidak ada gunanya kita menyembunyikan kekolotan kampung kita dan menyebut wilyah yang terkenal. Misalnya frater wawan menyebut mano untuk menyembunyikan watu mese ( Big Stone) atau frater Hedy menyebut colol untuk menyembunyika ngkiong. Namun ini semua tidak memiliki pengaruh apa-apa. Yang lebih parahnya adalah kita menyembunyikan kebodohan kita dan sok tahu segala-galanya. Konfrater yang terkasih, sikap tidak menerima diri sendiri adalah salah satu dari begitu banyak hambatan dalam upaya kita untuk memberikan diri secara total kepada orang lain.
Konfraterku sekalian yang dikasihi Yesus
Ada begitu banyak jenis emosi dalam diri kita baik yang baik maupun yang buruk. Dan saya sangat tertarik dengan salah satu dari semuanya itu yaitu iri hati. Ada yang mengatakan bahwa iri hati merupakan empedu yang beracun bagi manusia, baik bagi dirinya maupun orang lain. Iri hati membawa kesengsaraan hidup. Orang yang iri hati merasa tidak senang akan kebaikan Allah yang terjadi pada diri orang lain. St. Paulus berkata “ bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan menangislah dengan orang yang menangis” akantetapi sikap iri hati, membuat kita menangis dengan orang yang bersukacita dan bersukacita dengan orang yang menangis. Ini sunggunh tragis. Dari beberapa emosi, iri hatilah yang sangat memalukan. Iri hati berlawanan dengan sikap empati.
Dalam empati kita berusaha untuk menempatkan diri kita di tempat orang lain dan berusaha mengurbankan diri demi orang lain. Akan tetapi dalam iri hati kita berusaha mengurbankan orang lain demi keegoisan kita. Ketika kita bersikap iri hati terhadap seseorang, maka kita kehilangan pandangan kemanusiaan orang lain. Contohnya, “ ketika Kain memandang Habel , ia tidak menemukan dalam diri habel term saudara. Yang muncul adalah Habel hanyalah seorang musuh yang mengancam status kain di hadapan Allah. Kalau mau jujur, hal serupapun terjadi dalam kebersamaan kita di sini yang memiliki visi yang cemerlang yaitu menjadi saudara bagi sesama. Iri hati mengucilkan, setiap orang hanya untuk dirinya sendiri. Padahal kita semua dipanggil Allah untuk hidup mengatasi ego kita.
Konfrater sekalian yang terkasih
Sikap iri hati membawa kita menjauh dari Allah dan lebih mengasingkan orang lain, namun pada saat yang sama kita sendiri mengalami keterasingan dengan diri kita sendiri. Ketika kita terasing dengan diri kita, maka kita tidak lagi memiliki daya atau energi untuk menjadi sarana yang dipakai Allah dalam mewujudkan rencana-Nya yang terbesar kepada sesama kita. Akan tetapi karya Allah biasanya tidak memperhitungkan kelemahan manusiawi kita.

Pada suatu ketika seorang sahabat menuliskan sepucuk surat kepada saya demikian “ darimu aku telah belajar menyanyangi, darimu pula aku telah belajar mencintai dan darimu juga aku telah belajar mengasihi, namun ada satu hal yang belum aku pelajari dan engkau belum mengajarkannya kepada saya yaitu kejujuran”. Saudaraku, isi surat ini merupakan ekspresi kekecewaan batin atas sikap saya yang tidak jujur dan terbuka dalam persahabatan. Dalam hidup kita sehari-hari pun, kita seringkali berbuat baik kepada sesama atau menjadi pahlawan bagi orang lain namun semuanya kadang berdiri di atas sikap ketidakjujuran. Ketulusan dan keikhlasan dalam berempati kepada sesama dilaburi tinta hitam sehingga keputihan yang melambangkan ketulusan itu menjadi kabur.
Di akhir tulisan ini, saya mengutip pemikiran bijak Bapak wakil Bupati Manggrai Barat tentang manusia yang benar. Beliau mengungkapkan bahwa manusia yang benar adalah manusia yang pikiran, perkataan dan perbuatannya satu dan sama. Maksudnya bahwa hendaklah apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dipikirkan dan segala sesuatu yang kita lakukan sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Manusia yang kurang waras adalah manusia yang pikirannya lain, perkataanya lain, juga antara perkataan dan perbuatan tidak adanya koherensi. Segala apa yang aku katakan akan mencapai kepenuhannya apabila kita membahsakannya dalam perbuatan oleh karena perbuatan kita berkata lebih kuat daripada perkataan kita. Amin