Rabu, 21 Januari 2009

CINTA ITU BERBUAT

filsafat itu indahJADIKAN CINTA SEBAGAI TOPI BAJAMU


Gejala demoralisasi atau kemerosotan nilai moral melanda sebagian masyarakat atau umat manusia dewasa ini. Pemahaman sekaligus penghayatan nilai moral diterpa krisis yang cukup berkepanjangan. Ini bisa kita saksikan dari kenyataan sosial yang kian kejam, kasar, dan tak berperikemanusiaan. Ditambah lagi dengan intensitas tindakkan asusila yang sangat memprihatinkan. Perampokan, kekerasan seksual, perampasan harta benda orang lain dan sebagainya juga menjadi tanda dari zaman yang sedang berada dalam suasana demikian itu. Keadaan sosial yang memprihatinkan ini membuat begitu banyak orang bertanya, bagimanakah seharusnya hidup dan langkah taktis apakah yang harus dibuat agar dunia yang diciptakan ini dikembalikan kepada keadaanya yang baik adanya.
umat manusia yang sedang hidup dalam keadaan sosial yang memprihatinkan ini sedang menantikan pribadi-pribadi yang berkeutamaan. Pribadi-pribadi yang berkeutamaan dalam tradisi iman kristiani adalah mereka yang memiliki iman, harapan dan kasih yang murni dan utuh untuk memberikan dirinya bagi orang lain agar mengubah dunia yang sedang kaos kepada ciri dirinya yang sebenarnya yaitu aman, damai dan tentram. Tentu saja sebelum mengubah dunia kita harus terlebih dahulu mengubah diri kita sendiri.
Terhadap ketiga keutamaan yang ada dalam tradisi iman kristiani, paulus dalam suratnya kepada jemaat di korintus menasihati bahwa yang paling besar di antaranya ialah kasih.
Dan kita semua yang sedang berada di komunitas pondok kebijaksanaan ini sedang diformat untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkeutamaan itu dan akan diutus ke dunia untuk menjadi pembaharu. Oleh karena hakekat hidup membiara adalah man for God and man for the others ( menjadi manusia bagi Allah dan menjadi manusia bagi sesama) . Peziarahan kita untuk bersatu dengan Allah bukan mengantar kita untuk menjauhkan diri dari urusan-urusan duniawi yang bersifat karitatis. Tetapi kita dipanggil laksana nabi ke tengah dunia dan menyerukan suara kebijaksanaan di sana serta menghayatinya dengan sepenuh hati. Oleh karena begitu banyak orang yang tersentuh karena pewartaan yang keluar dari penghayatan pribadi daripada sekedar berkata-kata yang kadang sifatnya membual.
Suatu ketika, di kamarku yang berukuran mungil itu mendengarkan ceramah rohanidari seorang Ustad di sebuah FM Radio. Dia menggambarkan kasih Allah kepada umatNya. Dalam ceramahnya ia mengatakan bahwa kasih Allah itu prosentasenya penuh yaitu 100% tetapi yang dialirkan ke dunia hanya 1% dari ke100% itu. Sedangkan ke-99% yang lain tetap di surga dan umat manusia akan merasakan yang ke 99% itu di sana.
Konfrater ytk, bagi kita orang kristen Allah itu hadir sepenuh-penuhnya di dunia dan kepenuhan kehadirannya itu dilengkapi dengan kemauan-Nya untuk menghampakan diri dan mengambil rupa sebagai manusia secara utuh. Allah kita adalah akbar sekaligus akrab.

Sangat menarik karena dalam iman Kristiani, kasih terhadap sesama memiliki warna yang khas. Kekhasan itu terdapat dalam dialog yang terjadi antara seorang ahli taurat dan sang guru yaitu Yesus. Ketika ditanyai oleh seorang ahli taurat, manakah hukum yang utama, yesus menjawab dengan penuh keyakinan bahwa hukum utama itu adalah “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan utama” yesus langsung menyambung, ‘ dan hukum yang kedua yang sama dengan itu ialah: “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Konfrater yang terkasih
Mengasihi Allah dengan sepenuh-penuhnya, itu memang menjadi hukum yang pertama. Tetapi kasih terhadap sesama oleh Yesus disederajatkan dengan itu. St. Yohanes malah berkata, barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tak kelihatan. Jika seorang berkata aku mengasihi Allah tetapi membenci sesamanya ia xeorang pendusta. Perkara penting di sini adalah soal relasi. Dalam kasih terhadap sesama, kasih terhadap Allah menjadi nyata. Pun sebaliknya, kasih terhadap Allah membuat kita semakin dekat daengan yang lain
Ada tiga keutamaan hidup yang harus dikenakan dalam diri tiap orang kristen bahkan menjadi identitas umat kristen yaitu iman, harap dan kasih dan yang lebih tinggi dari semuanya itu adalah kasih. Iman dan harap tak bisa disempurnkan tanpa cinta kasih. Iman menarik Tuhan kepada manusia, namun pada saat yang sama cinta menarik manusia kepada Tuhan. Cinta kasih membuat manusia bersatu dengan Tuhan dan agar segala kenyataan hidup yang kita alami, bisa dilihat sebagai representasi kehadiran Tuhan sendiri.
Menjadi saluran kasih. Tema sentralnya adalah kasih. Kasih kepada siapa? Tentu saja kasih terhadap Allah dan sesama. Kita dipanggil untuk mengasihi Allah dan mengalami kebesaran Kasih Allah agar dengan kasih yang sama itu kita digerakkan untuk keluar dari diri dan menemui sesama yang pantas dan layak kita kasihi. Siapkah mereka yang layak dan pantas di kasihi itu? Mereka adalah siapa saja. Siapa saja mereka itu adalah mereka yang menjadi sasaran misi yesus yang ada dalam injil lukas 4:18 "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."

Mother teresa dari Calcuta dalam refleksinya mengatakan bahwa aku hanyalah alat di tangan Tuhan. Tuhanlah yang menggerakkan diriku sehingga aku mampu mempedulikan diriku terhadap sesama yang menderita miskin dan lapar. Dan dalam refleksi pribadiku ketika menerima tema ini, aku merumuskan diriku atau diri kita laksana kabel yang dipakai Alah untuk meneruskan rahmatnya kepada sesama kita. Kita adalah kabel. Dan ketika aku mengatakan bahwa kita adalah kabel tentu saja konsekuensinya harus diterima adanya kenyataan pemilahan atas kabel yang kualitasnya baik dan yang kurang baik, yang kuat dan kurang kuat, namun kita semua dipanggil untuk menjadi kabel. Kita menjadi kabel yang dipakai Allah sambil menerima keunikkan pribadi kita. Yang mana melalui kita, Allah mengalirkan arus kasihnya yang besar kepada sesama kita.
Dalam surat kabar harian kompas tanggal 10 september 2008, tepatnya di kolom nama dan peristiwa dilukiskan profil dari seorang artis terkenal asal Amerika yang bernama Eva Mendes. Yang menarik bagi saya adalah keputusannya untuk memberikan sebagian dari hasil usahanya kepada mereka yang berkekurangan. Keputusannya ini sungguh luar biasa karena lahir dari pengalaman religiusnya yang sangat mendalam yang mana hal itu lahir berkat relasinya yang begitu mesrah dengan Allah. Dia melakukan ini bukan demi popularitas atau ketenaran. Akan tetapi sungguh merupakan tindakan yang karitatif. Hal ini aku ketahuai oleh karena dalam sebuah sumber dikatakan bahwa dia adalah penganut katolik yang tulen. Pernyataannnya yang menyertai keputusannyapun sangat menarik sekali yaitu “ aku merasa bahwa ketidakadilan berpihak kepadaku, aku memperoleh banyak hal dari usahaku tetapi ada begitu banyak orang yang nyaris bahkan tidak memperoleh apa-apa”.
Pernyataan seorang artis ini sungguh menyentuh saya ketika saya masuk ke wilayah kemapanan saya sebagai seorang calon imam montfortan. Ketersentuhan ini bukan tanpa alasan. Saya atau kita kerap kali lupa daratan ketika kita sudah berada pada posisi yang aman. Kita tidak lagi menghiraukan orang lain yang nasibnya tunggang langgang ke sana kemari bahkan nyaris kehilangan tujuan. Dan Kalau kita menyaksikan kebersamaan kita di sini, juga ada konfrater kita yang harus ditopang atau dibantu. Akantetapi kita itu selalu merasa bahwa keadilan masih tercipta. Akantetapi melihat kenyataan hidup kita, maka kita mestinya harus dari hari ke hari merasa bahwa ketidakadilan justru ada dalam diri kita.
Hal ini tentu saja akan disadari kalau kita sungguh menghayati kehidupan kita sebagai seorang terpanggil. Kita sering kali merasa aman, damai dan tentram, kata Romo Arnold. Akan tetapi ketika kita merasa aman, damai dan tentram, kita lupa akan mereka yang mengalami hal yang sebaliknya yaitu berdukacita, makan dan minum tak tercukupi, para gelandangan di jalan atau bagi angkatan saya yaitu teman-teman kita di Bhakti luhur. Kiranya kita mulai sadar bahwa di tengah dunia yang berada dalam kegelapan ini ketidakadilan berada pada kita. Dan kita mulai memformat diri sedemikian rupa untuk menjadi pelita di tengah kegelapan itu.
Sebelum kita keluar dari diri kita dan menemui begitu banyak orang yang harus kita kasihi, bertanyalah dan ujilah lebih dahulu diri kita. Bahwasannya ketika kita hendak keluar dari diri kita dan mempunyai motivasi sebagai pembaharu, maka baharuilah dulu diri kita sebelum membaharui orang lain. Kita tidak akan menjadi pribadi-pribadi yang menjawabi persoalan yang terjadi pada zaman ini apabila kita sendiri bermasalah. Yesus sendiri bersabda bahwa kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Seperti engkau mengasihi dirimu sendiri merupakan ajakkan bagi kita untuk menerima diri sendiri sebelum kita memberikan diri kita kepada orang lain. Kita harus menerima kelemahan kita. Kalau kita dari kampung, sadarilah bahwa kita orang kampung. Tidak ada gunanya kita menyembunyikan kekolotan kampung kita dan menyebut wilyah yang terkenal. Misalnya frater wawan menyebut mano untuk menyembunyikan watu mese ( Big Stone) atau frater Hedy menyebut colol untuk menyembunyika ngkiong. Namun ini semua tidak memiliki pengaruh apa-apa. Yang lebih parahnya adalah kita menyembunyikan kebodohan kita dan sok tahu segala-galanya. Konfrater yang terkasih, sikap tidak menerima diri sendiri adalah salah satu dari begitu banyak hambatan dalam upaya kita untuk memberikan diri secara total kepada orang lain.
Konfraterku sekalian yang dikasihi Yesus
Ada begitu banyak jenis emosi dalam diri kita baik yang baik maupun yang buruk. Dan saya sangat tertarik dengan salah satu dari semuanya itu yaitu iri hati. Ada yang mengatakan bahwa iri hati merupakan empedu yang beracun bagi manusia, baik bagi dirinya maupun orang lain. Iri hati membawa kesengsaraan hidup. Orang yang iri hati merasa tidak senang akan kebaikan Allah yang terjadi pada diri orang lain. St. Paulus berkata “ bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan menangislah dengan orang yang menangis” akantetapi sikap iri hati, membuat kita menangis dengan orang yang bersukacita dan bersukacita dengan orang yang menangis. Ini sunggunh tragis. Dari beberapa emosi, iri hatilah yang sangat memalukan. Iri hati berlawanan dengan sikap empati.
Dalam empati kita berusaha untuk menempatkan diri kita di tempat orang lain dan berusaha mengurbankan diri demi orang lain. Akan tetapi dalam iri hati kita berusaha mengurbankan orang lain demi keegoisan kita. Ketika kita bersikap iri hati terhadap seseorang, maka kita kehilangan pandangan kemanusiaan orang lain. Contohnya, “ ketika Kain memandang Habel , ia tidak menemukan dalam diri habel term saudara. Yang muncul adalah Habel hanyalah seorang musuh yang mengancam status kain di hadapan Allah. Kalau mau jujur, hal serupapun terjadi dalam kebersamaan kita di sini yang memiliki visi yang cemerlang yaitu menjadi saudara bagi sesama. Iri hati mengucilkan, setiap orang hanya untuk dirinya sendiri. Padahal kita semua dipanggil Allah untuk hidup mengatasi ego kita.
Konfrater sekalian yang terkasih
Sikap iri hati membawa kita menjauh dari Allah dan lebih mengasingkan orang lain, namun pada saat yang sama kita sendiri mengalami keterasingan dengan diri kita sendiri. Ketika kita terasing dengan diri kita, maka kita tidak lagi memiliki daya atau energi untuk menjadi sarana yang dipakai Allah dalam mewujudkan rencana-Nya yang terbesar kepada sesama kita. Akan tetapi karya Allah biasanya tidak memperhitungkan kelemahan manusiawi kita.

Pada suatu ketika seorang sahabat menuliskan sepucuk surat kepada saya demikian “ darimu aku telah belajar menyanyangi, darimu pula aku telah belajar mencintai dan darimu juga aku telah belajar mengasihi, namun ada satu hal yang belum aku pelajari dan engkau belum mengajarkannya kepada saya yaitu kejujuran”. Saudaraku, isi surat ini merupakan ekspresi kekecewaan batin atas sikap saya yang tidak jujur dan terbuka dalam persahabatan. Dalam hidup kita sehari-hari pun, kita seringkali berbuat baik kepada sesama atau menjadi pahlawan bagi orang lain namun semuanya kadang berdiri di atas sikap ketidakjujuran. Ketulusan dan keikhlasan dalam berempati kepada sesama dilaburi tinta hitam sehingga keputihan yang melambangkan ketulusan itu menjadi kabur.
Di akhir tulisan ini, saya mengutip pemikiran bijak Bapak wakil Bupati Manggrai Barat tentang manusia yang benar. Beliau mengungkapkan bahwa manusia yang benar adalah manusia yang pikiran, perkataan dan perbuatannya satu dan sama. Maksudnya bahwa hendaklah apa yang dikatakan sesuai dengan apa yang dipikirkan dan segala sesuatu yang kita lakukan sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Manusia yang kurang waras adalah manusia yang pikirannya lain, perkataanya lain, juga antara perkataan dan perbuatan tidak adanya koherensi. Segala apa yang aku katakan akan mencapai kepenuhannya apabila kita membahsakannya dalam perbuatan oleh karena perbuatan kita berkata lebih kuat daripada perkataan kita. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please..comment